Jumat, 29 Oktober 2010

"Puisi untuk Palestina"

Begitu perih melihat luka-luka anak palestina
Tangis mereka adalah semangat relawan
Untuk terus menuju gaza walaupun nyawa akan malayang
Palestina engkau tak sendiri
Hampir seluruh dunia akan membela kebebesan dari zionis israel
tiap detik dan waktu Doa selalu dilantukan dari penjuru dunia
Untuk mu palestina
*****
Tuhan…
Berkaihi dan lindungi tanah palestina dengan janji Engkau Tuhan
Semoga semangat rakyat palestina tetap membara dengan kalimat Takbir
Sungguh jiwa-jiwa kalian palestina adalah mujahid sejati
sehingga cahaya itu hadir dibumi dan dilangit
sampai keajaiban-keajaibaan dan pertolongan Mu Tuhan
******
Tuhan Laknatanilah….
Negara-negara yang membusuhi Palestina
Negara yang membantai dan merenggut kebahagian anak kecil
Menindasi hak-hak palestina
****

"MUSLIMAH YANG IKHLAS"

Saudariku muslimah… ketahuilah bahwa engkau dan manusia seluruhnya di muka bumi ini diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah, demikian pula tujuan jin diciptakan tidak lain adalah untuk meyembah Allah.

Allah berfirman,
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu (yaitu mengesaknKu).” (Adz Dzariyat 56)

Ibadah dilakukan oleh seorang muslimah karena kebutuhannya terhadap Allah sebagai tempat sandaran hati dan jiwa, sekaligus tempat memohon pertolongan dan perlindungan. Dan ketahuilah saudariku bahwa ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal seorang muslimah, di samping dia harus mencontoh gerak dan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadahnya.

“Dan mereka tidaklah disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan dien (agama) kepadaNya, dengan mentauhidknnya.” (Al Bayyinah 5)

Ikhlas adalah meniatkan ibadah seorang muslimah hanya untuk mengharap keridhoan dan wajah Allah semata dan tidak menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah tersebut. Ibadah yang dilakukan untuk selain Allah atau menjadikan sekutu bagi Allah sebagai tujuan ibadah ketika sedang beribadah kepada Allah adalah syirik dan ibadah yang dilakukan dengan niat yang demikian tidak akan diterima oleh Allah. Misalnya menyembah berhala di samping menyembah Allah atau dengan ibadah kita mengharapkan pujian, harta, kedudukan dunia, dan lain-lain. Syirik merusak kejernihan ibadah dan menghilangkan keikhlasan dan pahalanya.

Abu Umamah meriwayatkan, seseorang telah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia mendapatkan pahala?”

Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ” Ia tidak mendapatkan apa-apa.”

Orang tadi mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, dan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap menjawab, ” Ia tidak akan mendapatkan apa-apa. ” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karenaNya dan mengharap wajahNya.” (HR. Abu Dawud dan Nasai)

Ketahuilah saudariku… bahwa ikhlas bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ikhlas adalah membersihkan hati dari segala kotoran, sedikit atau pun banyak – sehingga tujuan ibadah adalah murni karena Allah.

Ikhlas hanya akan datang dari seorang muslimah yang mencintai Allah dan menjadikan Allah sebagi satu-satunya sandaran dan harapan. Namun kebanyakan wanita pada zaman sekarang mudah tergoda dengan gemerlap dunia dan mengikuti keinginan nafsunya. Padahal nafsu akan mendorong seorang muslimah untuk lalai berbuat ketaatan dan tenggelam dalam kemaksiatan, yang akhirnya akan menjerumuskan dia pada palung kehancuran di dunia dan jurang neraka kelak di akhirat.

Oleh karena itu, hampir tidak ada ibadah yang dilakukan seorang muslimah bisa benar-benar bersih dari harapan-harapan dunia. Namun ini bukanlah alasan untuk tidak memperhatikan keikhlasan. Ingatlah bahwa Allah sentiasa menyayangi hambaNya, selalu memberikan rahmat kepada hambaNya dan senang jika hambaNya kembali padaNya. Allah senatiasa menolong seorang muslimah yang berusaha mencari keridhoan dan wajahNya.

Tetaplah berusaha dan berlatih untuk menjadi orang yang ikhlas. Salah satu cara untuk ikhlas adalah menghilangkan ketamakan terhadap dunia dan berusaha agar hati selalu terfokus kepada janji Allah, bahwa Allah akan memberikan balasan berupa kenikmatan abadi di surga dan menjauhkan kita dari neraka. Selain itu, berusaha menyembunyikan amalan kebaikan dan ibadah agar tidak menarik perhatianmu untuk dilihat dan didengar orang, sehingga mereka memujimu. Belajarlah dari generasi terdahulu yang berusaha ikhlas agar mendapatkan ridho Allah.

Dahulu ada penduduk Madinah yang mendapatkan sedekah misterius, hingga akhirnya sedekah itu berhenti bertepatan dengan sepeninggalnya Ali bin Al Husain. Orang-orang yang yang memandikan beliau tiba-tiba melihat bekas-bekas menghitam di punggung beliau, dan bertanya, “Apa ini?” Sebagian mereka menjawab, “Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di Madinah.” Akhirnya mereka pun tahu siapa yang selama ini suka memberi sedekah kepada mereka. Ketika hidupnya, Ali bin Husain pernah berkata, “Sesungguhnya sedekah yang dilakukan diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah.”

Janganlah engkau menjadi orang-orang yang meremehkan keikhlasan dan lalai darinya. Kelak pad hari kiamat orang-orang yang lalai akan mendapati kebaikan-kebaikan mereka telah berubah menjadi keburukan. Ibadah mereka tidak diterima Allah, sedang mereka juga mendapat balasan berupa api neraka dosa syirik mereka kepada Allah.

Allah berfirman,
“Dan (pada hari kiamat) jelaslah bagi azab mereka dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka keburukan dari apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (Az Zumar 47-48)

“Katakanlah, Maukah kami kabarkan tentang orang yang paling merugi amalan mereka? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usaha mereka di dunia, sedang mereka menyangka telah mengerjakan sebaik-baiknya.” (Al Kahfi 103-104)

Saudariku muslimah… bersabarlah dalam belajar ikhlas. Palingkan wajahmu dari pujian manusia dan gemerlap dunia. Sesungguhnya dunia ini fana dan akan hancur, maka sia-sia ibadah yang engkau lakukan untuk dunia. Sedangkan akhirat adalah kekal, kenikmatannya juga siksanya. Bersabarlah di dunia yang hanya sebentar, karena engkau tidak akan mampu bersabar dengan siksa api neraka walau hanya sebentar.

Maraji’:
Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf
Tazkiyatun Nufus

***

Artikel www.muslimah.or.id

Rabu, 27 Oktober 2010

Mujahid-Mujahidah Pembela Agama Allah

Hassan al Banna
From Wikipedia, the free encyclopedia

Hassan al Banna (October 14, 1906 - February 12, 1949, Arabic: حسن البنا) was an Egyptian social and political reformer best known as founder of the Muslim Brotherhood.

Banna was born in 1906 in Mahmudiyya, Egypt (north-west of Cairo). His father, Shaykh Ahmad al-Banna, was a respected local imam (prayer leader) and mosque teacher, educated at Al-Azhar University, who wrote and collaborated on books on Muslim traditions, and also had a shop where he repaired watches and sold gramophones. Though Sheykh Ahmad al-Banna and his wife owned some property, they were not wealthy and struggled to make ends meet, particularly after they moved to Cairo in 1924; like many others, they found that Islamic learning and piety were no longer as highly valued in the capital, and that craftsmanship could not compete with large-scale industry. (Mitchell 1969, 1; Lia 1998, 22-24)

When Hassan al-Banna was twelve years old, he became involved in a Sufi order, and became a fully initiated member in 1922. (Mitchell 1969, 2; Lia 25-26)

When he was thirteen, Banna participated in demonstrations during the revolution of 1919 against British rule. (Mitchell 1969, 3; Lia 1998, 26-27)

In 1923 he entered Dar al 'Ulum, a teacher training school in Cairo. Life in the capital offered him a greater range of activities than the village and the opportunity to meet prominent Islamic scholars (in large measure thanks to his father's acquaintances), but he was deeply disturbed by effects of Westernisation he saw there, particularly the rise of secularism and the breakdown of traditional morals. (Mitchell 1969, 2-4; Lia 1998, 28-30)

He was equally disappointed with what he saw as the failure of the Islamic scholars of al-Azhar University to voice their opposition to the rise of atheism and to the influence of Christian missionaries. (Mitchell 1969, 5)

In his last year at Dar al-'Ulum, he wrote that he had decided to dedicate himself to becoming "a counsellor and a teacher" of adults and children, in order to teach them "the objectives of religion and the sources of their well-being and happiness in life". He graduated in 1927 and was given a position as an Arabic language teacher in a state primary school in Isma'iliyya, a provincial town located in the Suez Canal Zone. (Mitchell 1969, 6)

In Isma'iliyya, in addition to his day classes, he carried out his intention of giving night classes to his pupils' parents. He also preached in the mosque, and even in coffee-houses, which were then a novelty and were generally viewed as morally suspect. At first, some of his views on relatively minor points of Islamic practice led to strong disagreements with the local religious élite, and he adopted the policy of avoiding religious controversies. (Mitchell 1969, 7; Lia 1998, 32-35)

He was appalled by the many conspicuous signs of foreign military and economic domination in Isma'iliyya: the British military camps, the public utilities owned by foreign interests, and the luxurious residences of the foreign employees of the Suez Canal Company, next to the squalid dwellings of the Egyptian workers. (Mitchell 1969, 7) Hassan al-Banna is known to have great impact in the modern Islamic thought. He managed to introduce Islam as an all-inclusive system of life, providing a practical example through his society


Sebelumnya: Mujahid-Mujahiddah Pembela Agama Allah
Selanjutnya : Mujahid-Mujahidah Pembela Agama Allah
Balas bagi

Senin, 25 Oktober 2010

DI MANA KUTEMUKAN BAHAGIA

“Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (kebahagiaan) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baikdari apa yang telah mereka kerjakan”

(An-Nahl:97)

Sahabat,ketika melihat orang lain yang hidup bergelimang harta dan kemewahan, mungkin hati kita berujar; “Bahagia sekali orang itu, setiap apa yang diinginkan mudah didapatkan, apa yang ia dapatkan melebihi apa yang dia butuhkan”. Ataukita melihat seorang teman yangkarirnya terus menanjak menuju kesuksesan. Dan hati kitapun berkata; “Bahagia sekali teman itu, setiap usaha yang dilakukan selalu mendapat kemudahan”.

Kalau dilihat dari lahiriyahnya, dipandang kedua orang itu sangat bahagia. Karena apa yang diinginkannya selalu ada. Tetapiapakah persangkaan kita selalu sama dengan orang yang kita persangkakan. Ternyata tidak selebihnya benar, karena realitasnya tidak sedikit orang yang kaya, justruselalu dihantui rasa ketakutan. Dan taksedikit orang yang sukses dalam karir, selalu menampakan kecemasan. Dua perasaan; takut dan cemas adalah bagian dari sikap ketidak bahagiaan. Lantas dimana kebahagiaan didapatkan?.

Sahabat, jangan tertipu dengan penglihatan lahir, karena dunia ini hanyalah perhiasan dan sandiwara. Tidak menutup kemungkinan, dibalik kemewahan hidup yang terlihat ada rasa ketakutan yang sangat. Dibalik senyum dan tawa akrab ada kepahitan dan kesedihan yang tidak kita ketahui. Mungkin tawanya hanya untuk menutupikegundahan perasaannya. Banyak orang yang bibirnya tersenyum tapi hatinya menangis. Tidak sedikit orang yang terlihat diam dan tenang tetapi jiwanya tertekan. Begitu banyak pemandangan terlihat sepintas menyenangkan padahal sebenarnya menyedihkan. Banyak orang menyangka dikiranya madu, ternyata ia adalah empedu. Dan tidak sedikit laknat dikiranya nikmat. Lantas,dengan apa kebahagiaan itu di dapatkan?.

Sahabat, Sejak dulu hingga hari ini, berbagai pergulatan dan hidup terus dilakukandemi sebuah kebahagiaan , bila perlu nyawa taruhannya. Tetapi ketahuilah, sejauh apapun kita melangkah untuk mengejar kebahagiaan tak akan pernahkita dapatkan, kalau tolak ukurnya adalah keduniaan. Sebab sifat dunia tak pernah memberi kepuasaan. Dan ketidak puasan itulah faktor utama penyebab ketidak bahagiaan.

Akhirnya, hanya satu solusi yang dapat mendapatkan mendatangkan kebahagiaan yang hakiki, yaitu hadirkan sifat qona’ah(menerima) apa yang telah Allah berikan. Orang yang qona’ah terhadap apapun yang diberikan jiwanya akan tenang. Sebab hatinya tidak menuntut mencapai sesuatu yang tidak ditakdirkan baginya dan tidak melirik kepada orang yang berada diatasnya. Tentu saja sifat ini tidaklah hadir dengan sendirinya tanpa faktor utama yang mendorongnya. Dan faktor itu adalah keimanan yang benar dan amal sholeh yang ikhlas. Orang yang tidak mempunyai keimanan yang benar akan selalu menderita kehampaan rohani dan selalu merasakan kesempitan diri. Tetapi orang yang beriman dengan benar hidupnya selalu diselimuti rasa aman dan kedamaian pikiran. Apabila hati di penuhi oleh iman, maka seluruh indra, perasaan dan anggota tubuh tergerak untuk melakukan kebaikan dan amal sholeh. Dan setiap iman bertambah dalam hati, maka kekuatan kebaikanpun akan bertambah, lalu hati seorang mukminpun akan terasa lapang. Kelapangan dada adalah buah sifat qona’ah.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengungkapkan; Iman adalah jantung Islam dan intinya, sebagaimana keyakinan merupakan kalbu iman dan isinya. Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah iman dan keyakinan adalah rusak, dan setiap iman yang tidak melahirkan amal pernuatan adalah lapuk” dan beliau menambahkan: “ Diantara ciri-ciri kebahagiaan dan keberuntungan adalah: setiap kali seoarng hamba bertambah ilmunya, maka bertambah pula sifata tawadhu’ dan kasih sayangnya. Setiap kali bertambah amalnya, maka bertambah pula rasa takut dan kewaspadaannya. Ketka umurnya bertambah tua, maka berkuranglah kerakusannya terhadap dunia.

Semoga Allah menghadirkan sifat qona’ah di dalam diri, karena dengannya kita akan terhindar dari ketidak puasan hati. Bila tidak ada iman, ketidak puasan terhadap apa yang telah dberikan, hanya akan melahirkan keinginan yang menyengsarakan. Tetapi jika iman telah meyelimuti kehidupan, sedikit atau banyak sesuatu yang didapatkan, membuat diri selalu berada dalam kebahagiaan.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Kedudukan Ahlul Ilmi dalam Al qur'an dan Assunnah

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Kitabul ‘Ilmi, hal. 13): “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa bayyinah (penjelas) dan huda (petunjuk). Maka, ilmu yang mengandung pujian dan keutamaan adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menfaqihkan (menjadikan dia paham) akan agama.” (Muttafaqun ‘alaih dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)


وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ


“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu tersebut) berarti dia telah mengambil bagian ilmu yang banyak.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6298 dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu)


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434): “Tidaklah mewarisi dari para nabi kecuali para ulama. Maka merekalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”


Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:


لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ


“Tidaklah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad (2/338) berkata: Ini adalah hadits shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan juga oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 416, dari Al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu)

Di antara keutamaan ahlul ilmi adalah sebagaimana berikut:


1. Ahlul ilmi adalah orang yang berkedudukan tinggi di dunia dan akhirat.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ


“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابَ قَوْمًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ


“Dia (Allah) akan meninggikan derajat suatu kaum dengan kitab ini, dan akan menghinakan dengannya pula kaum yang lain.” (HR. Muslim)


Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat ahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”

2. Ahlul ilmi adalah ahlul khasyyah (orang-orang yang takut) dan ahlut taqwa (orang yang bertakwa).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


وَاللهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي


“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku tidur, dan akupun menikahi para wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)


Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Setiap orang yang lebih berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut mengharuskan dia menahan diri dari kemaksiatan dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Dan ayat ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ilmu itulah yang mendorong untuk takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”


Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Hanya saja yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rasa takut yang sebenarnya, adalah para ulama yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Karena, tatkala semakin sempurna ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Memiliki sifat-sifat yang sempurna dan nama-nama yang berada pada puncak kebaikan, maka rasa takut kepada-Nya pun semakin besar dan sempurna. Ahmad bin Shalih Al-Mishri meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik rahimahullahu, dia berkata: ‘Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja ilmu itu adalah nur (cahaya) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan ke dalam hati.’ Ahmad bin Shalih berkata: ‘Maknanya, khasyah (rasa takut) itu tidak didapatkan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja (yang menyebabkan khasyah) adalah ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk diikuti, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, serta apa yang datang dari para sahabat g, serta para imam kaum muslimin dari generasi setelah mereka. Maka hal ini tidak didapatkan kecuali dengan riwayat. Sehingga makna pernyataan Al-Imam Malik bahwa ilmu itu adalah nur (cahaya), maksudnya adalah pemahaman terhadap ilmu tersebut dan pengetahuan tentang makna-maknanya.”

3. Ahlul ilmi adalah orang yang paling peduli terhadap umat.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)


Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَاذِبُ وَالْفِرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا، وَأَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تُفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي


“Permisalanku dan permisalan kalian adalah seperti seseorang yang menyalakan api, kemudian mulailah serangga kecil dan kupu-kupu menjatuhkan diri kepada api tersebut. Padahal orang itu senantiasa menghalau hewan-hewan itu darinya. Akupun menahan pinggang kalian dari api neraka dalam keadaan kalian berusaha melepaskan diri dari kedua tanganku.” (HR. Muslim)


Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168): “Para ulama itu lebih belas kasihan terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menjaga mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di akhirat.”


Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang.”


Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata dalam kitabnya Ar-Radd ‘ala Zanadiqah wal Jahmiyyah: “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan pada setiap masa yang kosong dari para rasul, segolongan ahlul ilmi yang masih tersisa. Mengajak orang yang tersesat kepada petunjuk, dalam keadaan sabar terhadap gangguan mereka. berusaha menghidupkan orang-orang yang mati1 dan menjadikan orang-orang yang buta (hatinya) bisa melihat kebenaran dengan nur dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak orang yang telah dibinasakan oleh Iblis (dengan syubhat dan syahwat), namun sungguh mereka berhasil menghidupkannya (dengan Al-Kitab dan As-Sunnah). Betapa banyak orang yang tersesat, mereka beri petunjuk. Duhai, alangkah bagusnya kepedulian ulama terhadap umat. Namun, alangkah jeleknya sikap mereka terhadap ahlul ilmi.”

4. Asingnya ahlul ilmi di kalangan umat merupakan alamat kebinasaan umat.


Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءَ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا


“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga bila Dia tidak menyisakan seorang alim pun (sampai) umat manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Maka mereka (para pemimpin itu) ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/438): “Tatkala hal tersebut terjadi, Islam hakiki yang terbangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan didapatkan, karena para ahlinya sungguh telah diwafatkan.”

5. Ahlul ilmi adalah ahlul bashirah (orang yang memiliki ilmu yang mantap), sehingga mampu mengetahui akan terjadinya fitnah di awal mula munculnya fitnah.


Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Tahdzirul Basyar (hal. 29-30): “Ketahuilah, orang yang paling mampu mengetahui kejelekan dari awal munculnya adalah para pewaris nabi, yakni para ulama yang beramal dengan dua wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah), dan benar-benar paham terhadap keduanya.”


Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang perbuatan Qarun yang melampaui batas dan umat pada masa itu terfitnah dengannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan pula bagaimana sikap ahlul ilmi terhadap hal itu.


فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ


“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’.” (Al-Qashash: 79)
Ini adalah sikap kebanyakan orang, yaitu berangan-angan memiliki harta yang banyak seperti Qarun. Adapun sikap ahlul ilmi, Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan:


وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِمَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الصَّابِرُونَ


“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (Al-Qashash: 80)


Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala benamkan Qarun berikut hartanya ke dalam bumi, barulah berubah sikap mayoritas umat tersebut.


Oleh karena itu, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Apabila fitnah itu baru muncul, para ulama mengetahuinya. Ketika fitnah itu telah berlalu, barulah umat menyadarinya.”


Sesungguhnya umat bisa mengetahui fitnah di awal munculnya, apabila mereka kembali (bertanya) kepada para ulama, bukan bertanya kepada orang menyerupai mereka. Perhatikanlah sikap para tabi’in ketika muncul fitnah Qadariyyah. Mereka bertanya kepada para sahabat g yang masih hidup pada masa itu, seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan lainnya.

6. Ahlul ilmi adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ


“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya’: 7)


وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا


“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa`: 83)


Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya:


“Ini adalah pelajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya tentang sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, apabila datang kepada mereka berita penting yang terkait dengan kepentingan umat, seperti berita keamanan dan hal-hal yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau berita yang mengkhawatirkan/ menakutkan, yang di dalamnya ada musibah yang menimpa sebagian mereka, hendaknya mereka memperjelas terlebih dahulu akan kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (semasa beliau masih hidup) dan kepada ulil amri, yaitu orang yang ahli berpendapat, ahli nasihat, yang berakal (para ulama). Mereka adalah orang-orang yang paham terhadap berbagai permasalahan dan memahami sisi-sisi kebaikannya bagi umat, sekaligus mengetahui hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.


Apabila mereka melihat sisi kebaikan, motivasi yang baik bagi orang-orang yang beriman dan menggembirakan mereka bila berita tersebut disebarkan, atau akan menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, tentu mereka akan menyebarkannya (atau memerintahkan untuk menyebarkan).


Apabila mereka melihat (disebarkannya berita tersebut) tidak mengandung kebaikan, atau dampak negatifnya lebih besar, maka mereka tidak akan menyebarkannya.”


Karena demikian agung dan mulianya kedudukan ahlul ilmi –yaitu para ulama– menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, sudah semestinya umat menghormati dan memuliakan mereka. Juga kembali kepada mereka dalam menghadapi berbagai problematika, mempelajari agama ini dengan bimbingan mereka, khususnya di masa yang penuh dengan fitnah ini. Tidak ada jalan yang selamat kecuali kita merujuk kepada ahlul ilmi.


Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam At-Tanbihul Hasan (hal. 33): “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadang dakwah ke arah bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Mereka adalah orang-orang yang selalu menyampaikan kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang mana generasi salafush shalih berjalan di atasnya. Adapun orang yang tidak mau merujuk kepada mereka, maka:


1. Mungkin dia adalah orang yang mengatakan bahwa semuanya itu baik. Maksudnya, Ahlus Sunnah, ahlul bid’ah, hizbiyyun (orang yang fanatik terhadap golongannya) adalah sama. Sehingga, hakikatnya dia menyamakan antara yang haq dengan yang batil.


2. Atau mungkin dia adalah orang yang berusaha menggiring umat kepada salah satu kelompok bid’ah atau hizbiyyah. Sekaligus berusaha memerangi dakwah yang haq. Dia berjalan dalam perkara tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh induknya.2


Adapun orang yang kembali kepada ahlul ilmi, para ulama ahlul hadits, maka dia akan selamat dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah.
Wallahu a’lam.

1 Yakni mati hatinya, disebabkan terjatuh dalam kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan. -pen
2 Seperti Sururiyyah, Quthbiyyah, dan yang lainnya, yang induknya adalah Ikhwanul Muslimin.

Minggu, 10 Oktober 2010

"Ikhwan dan Kesetiaanya"

assalamualaikum!



Bagaimana saya bisa memulai menulis tentangnya, tentang seorang lelaki dan kesetiaannya. Sejujurnya saya tak begitu mengenalnya lebih jauh, hanya sedikit cerita dari adik saya yang merupakan menantu dari lelaki itu, dan dari tante saya yang tinggal bertetangga dengannya. Tetapi dari yang sedikit itu rasanya begitu banyak yang terasa menyentuh dihati saat mendengarnya.

Ia telah menikah selama hampir 30 tahun, telah dikarunia 4 orang anak yang telah berkeluarga, kecuali si bungsu yang sedang menyelesaikan kuliahnya. Selama 30 tahun pernikahannya, tahukah anda berapa tahun yang sempat dilaluinya utuh sebagai suami istri selayaknya? Mungkin hanya sekitar 11 tahun….saaat si bungsu baru berusia 1 tahun, sang istri terkena penyakit yang tak tahu apa sebab dan akibatnya.

Sering merasa ada bisikan-bisikan aneh di telinganya yang membuatnya kadang tak ingat dan tak sadar dengan sekelilingnya. Tahun-tahun pertama, ia masih dengan sabar membawa sang istri untuk berobat, mulai dari pengobatan medis hingga alternative. Tahun-tahun tanpa perubahan yang berarti…..tetapi lelaki itu tetap sabar, hingga akhirnya ia tiba pada satu keputusan, ia sendiri yang akan menjaga dan merawat sang istri.

Ia sadar akan banyak mengorbankan hal-hal di luar menjaga sang istri. Pekerjaan yang dijalani sebagai pengajar, dilakukan hanya benar-benar pergi untuk mengajar, tak pernah sempat untuk bersosialisasi, meski ditawari jabatan yang cukup bergengsi, ia sadar akan tugas dan kewajibannya menjaga sang istri butuh waktu dan perhatian extra. Pun saat silaturahmi dengan keluarga mulai terbatas untuk dilakukannya, bahkan saat adik saya menyelenggarakan aqiqah anaknya, sang kakek tak sempat datang karena tak ada yang menjaga sang istri.

Ia tak pernah keluar rumah sebelum memastikan sang istri ada yang menjaga. Bergantian ia dan anak-anaknya menjaga sang ibu, disela-sela kesibukan masing-masing. Kesadaran yang turun naik, kondisi fisik yang kadang memburuk, dan itu telah berlangsung selama hampir 20 tahun....

Apa yang ada di benak lelaki itu? Sungguh saya sangat ingin bertanya langsung padanya, tapi rasanya saat ini belum mungkin. Lelaki pendiam dan bersahaja itu, hanya beberapa kali saya bertemu dengannya, itupun tanpa percakapan apa-apa. Tapi dari sorot matanya saya tahu betapa ada bintang-bintang kesetiaan terpancar di matanya.

Lelaki itu pernah berkata pada anaknya mungkin ini amanah dari Allah untuk menjaga istrinya, menurutnya ini memang tugas yang telah di berikan Allah khusus untuk dirinya karena orang lain belum tentu bisa melakukanya….

Berapa banyak lelaki seperti itu di dunia ini? Lelaki yang tetap setia dan sabar menjaga istri yang sakit-sakitan bahkan selama 20 tahun, mungkin tak lagi bisa melayaninya lahir dan bathin. Sebuah alasan yang sungguh sangat dibenarkan dalam agama baginya untuk menikah lagi. Tetapi itu tidak dilakukannya.

Berapa banyak lelaki yang justru memiliki istri yang sehat walafiat tanpa kurang suatu apa pun tetapi tak jua mampu mengukuhkan kesetiannya pada sang istri? Dengan berbagai alasan dan pembenaran untuk bisa memalingkan cinta pada yang lain. Tetapi lelaki itu tidak!.

Kisah seorang istri yang setia pada suami mungkin masih sering kita dengar, tetapi kisah seorang suami yang seperti ini sungguh bukan hal yang biasa terdengar. Dia rela menghabiskan waktunya di rumah untuk tetap menjaga dan mengurus sang istri memastikan semua baik-baik saja.

Suatu saat kondisi istri agak memburuk, kami sekeluarga sempat menjenguk sang istri yang terbaring kaku, berhari-hari tak bisa makan, hanya sesekali disuapi susu oleh si bungsu, wajah lelaki itu muram tapi tetap berharap, meski sehari sebelumnya, adik saya sempat bercerita untuk pertama kalinya ia melihat lelaki itu menangis melihat keadaan sang istri, seraya berdoa agar Allah bisa memutuskan yang terbaik bagi sang istri, karena begitu tak tahan ia melihat penderitaan sang istri.

Waktu 20 tahun, bukan waktu yang singkat untuk memupuk kesabaran dan kesetiaan, tetapi lelaki itu telah membuktikannya. Atas alasan apa? Entahlah....hanya dia dan Tuhan yang tahu.....semoga ia mendapat balasan yang setimpal dengan kesabarannya, mungkin hanya bidadari di syurga yang layak mendampinginya sebagai balasan atas kesetiaannya....

Ah, cinta.....masih adakah cinta yang seperti itu, yang tulus memberi tanpa beharap balasan? Yang kukuh memupuk cinta meski hanya menumbuk bayangan semu yang tak lagi nyata bisa menemaninya merangkai hari-hari tua.

Sungguh beruntung sang istri memilikinya, semoga Allah menghapus semua kesalahannya disebabkan sakit yang telah bertahun-tahun dideritanya.
And....my husband....would you love me like that,....?